Dizaman yang modern ini, disaat bumi semakin sempit, dan kebutuhan akan lahan semakin tinggi. Sudah sepatutnya dalam hal kepemilikan lahan dan bangunan lebih memperhatikan sertifikat kepemilikan resmi yang dikeluarkan Negara.
Hal ini tentu saja untuk menghindari adanya persengkataan lahan dikemudian hari, yang pastinya akan menguras waktu, pikiran, bahkan uang.
Oleh karenanya mengecek properti di Badan Pertanahan (BPN) sudah menjadi keharusan, apalagi properti yang baru dibeli.
Ada banyak bukti kepemilikan hak atas tanah yang beredar, tapi yang umumnya sering ditemui di kota-kota hanya ada 3 yaitu; SHM, SHGB, dan SHSRS. Selain itu seperti Girik, AJB, ataupun PPJB bukanlah termasuk sertifikat kepemilikan seperti alasan-alasan yang dikemukakan dibawah.
Berikut penjelasannya satu per satu:
1. SHM (Sertifikat Hak Milik)
Ini adalah bukti kepemilikan yang paling kuat, dengan memegang SHM pemilik mempunyai hak penuh atas luas lahan yang tertera pada sertifikat tersebut. Walaupun masih ada saja kasus sertifikat dobel, tapi jumlahnya masih relatif kecil. Makanya prinsip kehati-hatian dalam jual beli harus tetap dijalankan walaupun properti tersebut sudah SHM.
Bertanya pada lingkungan sekitar, keluarga atau ahli waris penjual sudah sepatutnya dilakukan, untuk berjaga-jaga adanya indikasi sengketa atas lahan. Juga proses jual beli harus tercatat di Notaris, karena dalam proses ini juga akan dilakukan pengecekan keabsahan SHM ke BPN.
Memiliki SHM sangat memberikan kemudahan, baik itu untuk dijual kembali atau diagunkan ke Bank sebagai jaminan kredit.
Walaupun kepemilikan SHM ini mutlak, tapi dalam kasus-kasus tertentu hak atas lahan bisa diambil alih oleh Negara bila membutuhkan. Selanjutnya Negara berhak mengambil apabila lahan tersebut ditelantarkan. Atau diketahui kepemilikan lahan tersebut bukan WNI.
2. SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan)
Sesuai dengan namanya, pemilik sertifikat ini hanya memiliki hak atas bangunan-nya saja. Sedangkan lahan yang tercatat dalam sertifikat adalah milik negara yang dalam jangka waktu teretentu harus diperpanjang, ada yang 20 tahun dan 30 tahun, sesuai dengan yang tertera pada sertifikat tersebut. Sedangkan perpanjangan dilakukan 2 tahun sebelum jatuh tempo.
Hak Guna dapat diartikan sebagai hak pemanfaatan atas lahan atau bangunan, misalnya mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. Selain bisa diperpanjang, Hak Guna juga dapat pula digunakan sebagai tanggungan serta dapat dialihkan. Apabila Hak Guna sudah diadministrasikan dengan baik, maka pemegang hak bisa mendapatkan bukti kepemilikan berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Biasanya SHGB dimiliki oleh korporat, bisa sebagai badan usaha (CV, PT, dll) ataupun lahan yang dikelola oleh pengembang seperti apartemen, hotel, kondominium, dsb. Lahan berstatus HGB bisa dimiliki oleh orang asing, selama memberikan masukan pada Negara. SHGB tidak bisa diwariskan kepada ahli waris. Tapi SHGB bisa dijadikan agunan pinjaman di Bank, asal yang mengajukan sesuai dengan yang tertera pada SHGB.
Baca juga:
Meningkatkan Status Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik
3. SHMSRS (Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun)
Biasanya sertifikat ini disebut dengan Strata Title, yang dikeluarkan untuk kepemilikan bangunan bertingkat, seperti Rumah Susun, Apartemen, Kondominium, Flat, dan semua jenis bangunan yang dibangun secara vertikal.
Pemilik setifikat hanya memiliki hak atas unit bangunan yang tertera pada sertifikat saja. sedangkan tanahnya adalah milik bersama dan berstatus SHGB, dan biasanya dikelola oleh Manajemen.
Demikianlah beberapa sertifikat kepemilikan yang ada di Indonesia. Sedangkan kalau merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih banyak lagi hak-hak atas tanah, seperti;
- Hak Guna Usaha
- Hak Pakai
- Hak Sewa
- Hak Membuka Tanah
- Hak Memungut Hasil Hutan
- Dll
Namun yang umumnya yang sering ditemui seperti yang telah dibahas diatas. Kecuali yang masih sering ditemui seperti; Girik, AJB, dan PPJB yang akan dikupas sedikit dibawah ini.
A. Girik
Girik atau petok bukanlah merupakan sertifikat kepemilikan atas tanah, melainkan hanya jenis administrasi desa atau kelurahan tentang pertanahan yag menunjukan penguasaan atas lahan untuk keperluan perpajakan.
Didalam girik dijelaskan tentang nomor, luas tanah dan pemilik hak, baik karena jual beli maupun waris, sehinngga girik atau petok harus ditunjang dengan bukti lain misalnya Akta Jual Beli atau Surat Waris.
B. Akta Jual Beli (AJB)
AJB merupakan salah satu bukti pengalihan hak atas tanah sebagai akibat dari jual beli. AJB dapat terjadi dalam berbagai bentuk bukti kepemilikan tanah, baik SHM, HGB maupun Girik. Oleh karena AJB tidak termasuk dalam bukti kepemilikan properti, maka dalam pembelian properti harus diperjelas bukti kepemilikan yang lain bisa berupa SHM, SHGB, atau Girik.
Dan karena bukan bukti kepemilikan, maka AJB tidak bisa diperjualbelikan, diagunkan, ataupun diwariskan, tanpa adanya bukti kepemilikan awal.
C. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
Adakalanya pembelian properti terjadi sertifikat kepemilikan tanah sedang diurus. Hal ini biasa terjadi bila pembelian rumah oleh developer. Secara umum isinya mengenai kesepakatan untuk saling mengikat antara penjual dan pembeli yang biasanya disertai dengan pemberian uang tanda jadi. Dalam PPJB juga dimuat perjanjian-perjanjian tentang besarnya harga, kapan waktu pelunasan, dan pembuatan AJB.